SURABAYA – Anak muda (gen-Z dan milenials), yang jumlahnya saat ini dan beberapa tahun ke depan akan mendominasi jumlah penduduk Indonesia, memiliki peluang yang sangat besar untuk berkiprah dalam dunia politik.
“Contoh pemimpin muda sudah banyak. Ada Emmanuel Macron Presiden Prancis. Jacinda Ardern Perdana Menteri Selandia Baru, usianya baru 37 tahun, dan Syed Syaddiq Menteri Olahraga Malaysia. Baru 25 tahun,” kata Herzaky M Putra Pengamat Politik Nasional dari Minelka Consulting, dalam diskusi publik ‘Pemimpin Muda di Pentas Politik Nasional’ yang digelar di Satu Atap, salah satu co-working space di Surabaya, Kamis (9/8/2018) kemarin.
Dalam kesempatan tersebut, Zaki – demikian ia karib disapa – ingin mengajak anak muda Surabaya tidak antipati terhadap politik, tidak alergi terhadap politik, dan mengajak mereka terjun ke dunia politik praktis.
“Bisa dimulai dari mengenali pemimpin yang berkualitas, dan sebisa mungkin mereka berani dan mau terjun ke dunia politik. Tapi dengan cara yang baik. Tidak menggunakan politik identitas, tidak dengan berita hoaks, atau dengan black campaign,” ujarnya.
Anak muda, kata Zaky, harus memanfaatkan social kapital: membangun networking, tidak hanya di dunia maya tapi juga di dunia nyata.
“Soal duit, ya memang butuh. Masa mau jalan kaki. Masak enggak makan? Itu duit juga. Tapi kan sekarang sudah zamannya crowdfunding, dari jaringan yang mereka bangun, mereka bisa memanfaatkan sistem baru pendanaan ini,” tukasnya.
Dia mengatakan, keunggulan anak muda yang maju di bidang politik adalah kedekatan mereka dengan media sosial. Memiliki jaringan pertemanan yang luas di medsos sudah menjadi modal bagi mereka.
“Punya follower 5 ribu di facebook, misalnya, itu sudah modal. Tapi networking di dunia nyata juga perlu dibangun. Bangun aja banyak-banyak komunitas. Ini, diskusi publik seperti ini, contohnya. Bikin lebih sering,” katanya.
Sementara itu, Ahmad Wahyudi, Pakar Politik yang pernah menjadi Ketua DPRD Banyuwangi minta anak muda mempertegas pentingnya keberanian. Mental, kata dia, adalah modal utama bagi generasi muda untuk maju di kancah politik nasional.
Keberanian untuk memperkenalkan diri dan menyatakan dirinya maju ke kancah politik kepada orang lain adalah modal awal bagi anak muda. Dia menyebutnya, hal itu seperti yang dilakukan seorang tenaga pemasaran (salesman).
“Makanya yang banyak diusung menjadi caleg itu sales-sales itu. Mereka punya mental dan kemampuan untuk menjual. Mendatangi banyak orang. Ini yang tidak dimiliki orang-orang yang lebih intelektual,” katanya, dalam kesempatan yang sama.
Meski demikian, dia juga menekankan kualitas diri. Politik Indonesia saat ini, kata pria yang kini bergiat di Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) itu, cenderung pada politik identitas, bukan politik kualitas.
“Saya yakin, kalau seseorang itu memiliki kualitas pasti akan dilirik. Tidak perlu mencalonkan diri. UAS (Ustaz Abdul Somad) itu ditawari jadi wapres, tapi dia menolak. Karena dia punya kualitas,” katanya.
Kedua pengamat tersebut juga sependapat bahwa pendidikan politik dan regenerasi pemimpin politik di Indonesia memang cukup terlambat. Padahal, dalam waktu dekat ini bonus demografi akan terjadi.
“Memang agak telat ya. Persiapan untuk menghadapi bonus demografi itu setidaknya 10 tahun. Tapi kalau tidak dimulai dari sekarang, kita tidak akan memiliki pemimpin berkualitas di masa depan,” kata Zaky.
Dialog publik maupun diskusi-diskusi tentang politik seperti yang digelar di Satu Atap, menurutnya, sangat perlu diadakan secara rutin. Setidaknya, sebulan sekali adalah waktu minimal.
Sementara Wahyudi berpendapat, peran orangtua kepada anak-anaknya untuk mendidik mereka sejak dini agar memiliki cita-cita menjadi pemimpin juga sangat penting.
“Karena selama ini kan anak-anak ini dididik untuk menjadi pekerja, bukan pemimpin. Cita-cita sebagai dokter, polisi, pilot, itu semua pekerja. Mereka tidak diarahkan untuk menjadi pemimpin,” ujarnya.(rur)