SURABAYA, hariansurabaya.com | Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa optimis industri Bioetanol Tebu oleh PT Energi Agro Nusantara (Enero) Mojokerto yang hari ini diresmikan Presiden RI Joko Widodo, Jum’at (4/11), menjadi upaya strategis pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) di Jawa Timur.
Bahkan Gubernur Khofifah menyebutkan, pengembangan BBN tersebut semakin menguatkan langkah Pemprov Jatim dalam mengembangkan sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) demi mewujudkan ketahanan energi nasional.
“Pengembangan Bioetanol Tebu ini salah satu bentuk komitmen pemerintah dalam mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil dengan mengembangkan sumber-sumber energi alternatif lainnya. Untuk itu, Pemprov Jatim terus berupaya meningkatkan pemanfaatan EBT guna mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi bagi masyarakat,” kata Khofifah di Surabaya, Jum’at (4/11).
“Hal ini juga selaras dengan komitmen Pemprov Jatim untuk mengakselerasi dan mendukung sepenuhnya program transisi energi. Yakni dengan meningkatkan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT), yang bertumpu pada kekayaan potensi sumber daya EBT di Jatim,” imbuhnya.
Mantan Menteri Sosial itu menjelaskan, Jawa Timur saat ini merupakan produsen etanol terbesar di Indonesia. Dimana Jatim memiliki beberapa perusahaan penghasil bioetanol dengan total Produksi sebesar 110.000 KL pada tahun 2020. Salah satunya yakni PT. Energi Agro Nusantara (Enero) dengan total Produksi Bioetanol sebesar 34.874 KL pada 5 tahun terakhir.
“Dimana Bahan Baku utamanya dari bioetanol ini adalah tebu yang diperoleh dari Perkebunan PTPN dan Tebu Rakyat,” katanya.
Jawa Timur, lanjut Khofifah, memiliki potensi dan sumber daya yang besar dalam mendukung Pogram kebijakan Pemerintah mandatory Pemanfaatan Bioetanol E5 hingga E20 pada Tahun 2025. Hal ini karena Produk Etanol (Fuel Grade) yang diproduksi PT. Enero memiliki multiplayer effect terhadap ketahanan pangan khususnya sektor pertanian tebu dan industri gula.
“Dengan peningkatan permintaan bahan baku Etanol dari molases (tetes tebu) sebagai produk samping industri gula, maka ini akan berdampak pada peningkatan penyediaan tanaman tebu yang artinya juga mengharuskan peningkatan produksi gula. Dan pasar dari bioetanol ini sangat jelas karena merupakan bahan baku campuran untuk menghasilkan Pertamax,” katanya.
Ke depan, Khofifah berharap ketersediaan bahan baku dan sarana prasarana ini dapat terus ditingkatkan sebagai upaya pengembangan bioethanol.
“Hal ini tentunya membutuhkan dukungan stakeholder terkait untuk mengatasi ketersediaan bahan baku dan keberlanjutan suplai bahan baku bioethanol,” katanya.
Sebagai informasi, kekayaan potensi EBT di Jawa Timur tidak kurang dari 25.542 MW yang terdiri dari PLTA, PLTB, PLTSA/Bm, PLTS, PLTP, Gelombang Laut dan Bioenergi. Khusus Bioenergi di Jatim diperkirakan memiliki kontribusi cadangan energi sebesar 3.420 MW.
Besarnya cadangan Bioenergi tersebut berasal dari sumber daya ternak, Biomassa, Sampah serta dari pengolahan produk pertanian (tetes tebu) yang menghasilkan Etanol. Serta perkebunan kelapa sawit/ jarak yang menghasilkan Biodiesel untuk substitusi Bahan Bakar di sektor transportasi.
Program Biodiesel (B30) sendiri telah diinjeksikan oleh Kementrian BUMN ke dalam distribusi Bahan Bakar bersubsidi (Biosolar) melalui PT. Pertamina Patraniaga MOR V di Jawa Timur. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan ketahanan energi, ketahanan pangan, serta menjadi pondasi tumbuhnya perekonomi Jawa Timur.
Kemudian dari sisi Transisi Energi menuju energi ramah lingkungan, Konsumsi Biodiesel pada sektor transportasi juga telah berkontribusi terhadap pencapaian Bauran Energi di Jawa Timur sebesar 604.773,6 KL atau setara dengan sebesar 803,48 MW jika dikonversikan ke dalam energi listrik.
Sejalan dengan program Bioetanol (B5) yang juga akan diinternalisasikan ke dalam Bahan Bakar Pertamax tentunya akan mendorong berkembangnya energi ramah lingkungan ke depan.(ac/ist)