Masalah air bersih kini makin menjadi sorotan berbagai kalangan. Terlebih pada tahun 2017 World Health Organization (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia dalam laporannya menyebutkan, 1,7 juta kematian anak disebabkan lingkungan tidak sehat yang dikontribusikan salah satunya dari kualitas air yang buruk akibat pencemaran udara dan lingkungan.
Di Indonesia, meski Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS dalam 3 tahun terakhir merilis adanya peningkatan akses rumah tangga terhadap sumber air minum layak, tetapi secara keseluruhan sampai saat ini, belum ada provinsi yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak hingga 100 persen. Persentasinya masih antara 65 hingga 72 persen rumah tangga yang terakses sumber air minum layak.
Provinsi Bali tergolong tinggi sekitar 90,85 persen, disusul DKI Jakarta sebesar 88,93 persen pada periode yang sama, kemudian Kalimantan Utara sebesar 83,78 persen. Lampung tergolong rendah akses air bersih hanya 53,79 persen, berbeda sedikit dengan Papua yang 59,09 persen, meningkat di tahun sebelumnya yang mencapai angka 52,69 persen. Masih kurangnya kesadaran masyarakat terhadap perilaku hidup sehat rupanya menambah volume angka pencemaran di sejumlah sumber air. Menurut data Susenas, mayoritas sumber air minum masyarakat secara nasional diperoleh dari air dalam kemasan, sumur terlindung, dan air tanah dengan memakai pompa.
Tren sumber air minum rumah tangga dalam kemasan tersebut memang menanjak cukup tajam dalam lima tahun belakangan ini. Pada tahun 2000 hanya 0,86 persen, tahun 2012 jumlahnya mencapai 38,85 persen, dan sepertinya trendnya akan semakin naik. Mengingat, fungsional air kemasan yang lebih praktis, merasa aman diminum dan mudah pula ditemui di pasaran. Tetapi, sekali lagi tidak ada jaminan air dalam kemasan benar-benar terjaga kualitasnya dan bisa memberikan efek antioksidan yang membantu kesehatan tubuh manusia.
Mengingat kemasan dalam botol terindikasi rentan terhadap paparan matahari secara langsung, proses penyimpanan dan faktor lainnya dalam proses produksi dan pendistrubusian produk ke pasaran.
Karena itu, untuk meningkatkan kualitas air minum kemasan maupun sumber air minum dari sumur dan air tanah dalam rumah tangga, K-Link Indonesia meluncurkan Hydrogen Generator Mini, yaitu sebuah generator penghasil molekul hidrogen (H2) terlarut yang mampu menyulap kandungan air menjadi kaya hidrogen sebagai antioksidan yang baik bagi kesehatan, anti-inflamasi dan bersifat anti alergi
Fungsinya akan mengikat dan menetralisir radikal bebas sekaligus mengeluarkan reactive oksigen dalam tubuh yang merupakan penyebab penuaan, dan berbagai penyakit berbahaya seperti diabetes, tumor dan tekanan darah tinggi. Meminum 2 liter air hidrogen sama halnya dengan memakan 1032 buah apel, 1512 pisang, 76 wortel, 90 brokoli dan 7,4 labu.
Agar manfaatnya dapat maksimal, Hydrogen Water Generator mini ini sebaiknya digunakan maksimal 10 kali dalam sehari untuk mencegah overuse. Perawatannya pun tidak sulit, cukup dibersikan 1 kali dalam seminggu dengan asam sitrat yang dicampur air, kemudian dicolok ke daya sekitar 1-2 menit atau campur air 1/3 botol. Lalu teteskan cuka 3 tetes, dan dikocok-kocok selama kurang lebih 1 menit. Jika tidak digunakan lebih dari 3 hari, sebelum digunakan dibersihkan dengan cuka atau asam sitrat.
“K-LINK Hydrogen Generator Mini adalah salah satu terobosan inovatif K-Link Indonesia untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat. Alat ini praktis dan mudah dibawa atau dimasukkan dalam tas,” papar Presiden Direktur K-Link Indonesia, Dato Dr. H. MD. Radzi Saleh.
Dengan hidrogen water generator mini, masyarakat bisa selalu menjaga kesehatan air minumnya setiap saat dan dimanapun. Sosialiasasi K-Link Hydrogen Generator mini telah dilakukan selama bulan November di sejumlah kota besar yaitu Jakarta, Surabaya, Medan dan Jayapura. (advertorial)