hariansurabaya.com | SURABAYA – Sebagaimana kita ketahui, sejak bermunculan platform media sosial yang beraneka ragam. Mulai dari facebook, instagram, youtube, twitter, tik tok, whatshapp sampai blog. Pelaku dunia maya semakin eksis dalam menyampaikan ekspresinya. Mereka menggunakan media sosial sebagai bukti eksistensi dan berlomba-lomba meraup cuan lewat media sosial atau medsos.
Sekarang buzzer menjadi primadona baik untuk urusan campaign produk, branding personal maupun issue politik. Tidak bisa dipungkiri karena gadget sudah menguasai akses informasi. Semua bisa dijangkau hanya lewat genggaman tangan yaitu smart phone. Dan hampir semua pasti memiliki handphone karena tidak hanya terjangkau, semua perangkat sangat mumpuni.
Banyak yang beranggapan bahwa buzzer selalu menyebarkan informasi yang negatif, provokator bahkan tukang rusuh di media sosial.
Ada beberapa pandangan berbeda dalam menyikapi munculnya buzzer menjelang tahun politik ini. Redaksi Harian Surabaya meminta pendapat dari 2 orang yang bisa dikatakan pakar yaitu Wildan Krisnarwanto W. S., selaku Peneliti Senior Surabaya Survey Center dan Avy Chujnijah yang sudah lebih dari 5 tahun berkecimpung sebagai pengerah buzzer.
Menurut pendapat Wildan, menyikapi buzzer menjelang Pemilu 2024 harus dilihat dalam dua sisi, baik positif maupun negatif. Secara positif buzzer ini memang memberikan gambaran para calon melalui media sosial, yang selama ini memang dipandang efektif.
Namun, yang perlu menjadi watchout dalam menepis pandangan negatif dari buzzer ini, setidaknya para buzzer hanya mempromosikan branding para calon. Tanpa melakukan black campaign, ujaran kebencian, hingga hoax. Menyikapi fenomena ini setidaknya pemerintah merumuskan aturan khusus tentang cara kerja buzzer. Hal ini untuk menekan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Dan yang masih menjadi PR bersama, buzzer ini sebagian besar memiliki akun anonim yang merahasiakan identitas mereka.
Lalu apakah buzzer ini memengaruhi hasil survei SSC? Wildan mengklaim, mungkin beberapa responden ada yang terpengaruh dengan buzzer mengingat pengguna medsos memang tinggi. Namun pengaruhnya tidak cukup signifikan, karena dia meyakini responden dewasa ini juga memiliki pengetahuan yang bijak menyikapinya.
Ketika Harian Surabaya menanyakan apakah SSC menggunakan buzzer untuk melengkapi surveynya?
“Untuk melihat survey, kami tidak menggunakan buzzer.” Jawab Wildan tegas dan lugas.
Sedangkan menurut Avy, keberadaan buzzer itu tidak bisa ditolak atau dihindari. Karena buzzer muncul bersamaan dengan semakin canggihnya teknologi. Dan untuk sekarang ini, karena tingginya permintaan.
Perempuan yang juga seorang jurnalis ini mengaku hampir tiap bulan dia menerima job yang meminta menyediakan buzzer untuk kebutuhan campaign produk bisa sampai 10.000 akun. Baik itu di instagram, facebook, twitter, tik tok, youtube maupun blog. Kalau untuk kepentingan politik masih jarang, karena dia sendiri menghindari buzzer yang diminta untuk menyebar issue negative atau provokatif.
“Saya dulu pernah terima job dari beberapa partai politik. Tapi dari awal saya sudah menekankan kepada klien, bahwa buzzer saya tidak untuk ‘berkelahi’ di media sosial. Awalnya susah juga meyakinkan mereka. Karena kebutuhan saat itu justru untuk menyerang lawan politiknya. Saya nggak mau meskipun tawaran kontrak cukup menggiurkan. Apalagi waktu itu dalam kondisi pandemi. Job lagi sepi. Semua pasti butuh uang dong hehehe.” ujarnya sambal tertawa.
Kenapa klien begitu ngotot minta Avy yang handle? Karena dengan pasukan yang begitu banyak, tidak jarang semua tujuan klien bisa tersampaikan. Salah satu contoh, ketika tahun 2017 Avy diminta memegang branding kampanye dari calon wakil gubernur di salah satu propinsi. Hampir satu tahun pasukan buzzer dibawah kendali dia istilahnya membuat berisik media sosial dengan informasi positif dari calon wakil gubernur tersebut. Dan hasilnya, yang awalnya berstatus calon tersebut sekarang sudah hampir 5 tahun menjabat sebagai wakil gubernur.
Apakah buzzer tetap berperan pada Pilpres 2024 nanti? Apalagi pemilu tahun depan serentak akan memilih juga dari calon legislatif juga kepala daerah. Mari kita lihat saja. Karena dari sekarang pun sudah mulai panas dan ramai personal branding dari masing-masing calon dengan melibatkan penggiat di media sosial.(dam)