hariansurabaya.com | SURABAYA –.Para pengusaha perhotelan di Jawa Timur, khususnya Surabaya menyesalkan minimnya respons Pemkot Surabaya maupun Pemprov Jawa Timur menyusul dampak negatif akibat kebijakan efisiensi yang diterapkan pemerintah pusat.
Padahal sejak diberlakukan Januari 2025, kebijakan efisiensi tersebut membuat bisnis perhotelan nyaris tidak bergerak. “Kondisi saat ini jauh lebih buruk daripada saat pandemi (Covid-19),” tegas Firman S Permana, Ketua PHRI Area Surabaya, Rabu (23/4/2025).
Saat pandemi, lanjut Firman, seluruh pergerakan masyarakat memang dibatasi. “Ini tidak ada penutupan jalan, tetapi dampak buruknya sama. Karena tidak ada tamu yang datang,” tandasnya.
Menurut Firman, kebijakan efisiensi itu tak hanya membuat jajaran kementerian membatasi kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan di hotel, seperti meeting, bimtek, dan sejenisnya.
“Mirisnya, hal yang sama juga terjadi pada dunia usaha swasta. Mereka juga ‘wait and see’. Para pengusaha pun menunggu momen,” urainya.
Akibatnya, kata Firman, tak ada pilihan lain kecuali ‘merumahkan’ karyawan. “Yang sudah dilakukan saat ini adalah tahapan gateway, merumahkan selama 15 hari kerja,” tuturnya.
“Selain itu, juga pengurangan tenaga kerja harian. Casual worker terkena dampaknya. Tenaga kontrak pun tidak diperpanjang. Misal waktunya (kontrak) FBM (Food & Beverage Manager) habis, maka kontraknya tidak diperpanjang,” ujarnya.
Fenomena lain yang terjadi adalah persaingan makin ketat dan tidak sehat di kalangan pengusaha perhotelan di Surabaya.
“Kondisi ini sudah membuat 2-3 hotel di Bogor tutup. Apa ingin kondisi yang sama terjadi di Surabaya? semoga tidak!” sergahnya.
Tetapi, Firman menekankan, jika tidak segera ada solusi atas dampak efisiensi tersebut, bukan tidak mungkin akan banyak hotel di Surabaya gulung tikar.
“Lihat saja hotel-hotel di pusat Kota Surabaya sampai bulan ini ‘megap-megap’ karena tak ada tamu yang datang,” bebernya.
Firman menyatakan, PHRI BPD Jatim sudah melayangkan surat ke Pemkot Surabaya maupun Pemprov Jatim.
“Sejauh ini responsnya masih tahapan audiensi-audiensi. Belum ada kebijakan konkret sebagai solusinya,” cetus pria yang sudah malang melintang di dunia perhotelan di Tanah Air ini.
Firman berharap ada relaksasi dari pemerintah daerah (kota/kabupaten dan Pemprov Jatim).
“Seperti di beberapa daerah, pemerintah setempat relaksasi berupa keringanan pajak, bisa dibayarkan tahun depan atau dicicil,” ucapnya.
Artinya, ujar Firman, program relaksasi sebagai harapan untuk dunia perhotelan itu ada.
“Sedang di sini (Jatim, khususnya Surabaya) tidak ada suara. Lalu sampai kapan? Kondisinya sudah krusial. Lampu merah!” tandasnya lagi.
Firman menambahkan, di tengah kondisi tidak baik-baik saja itu, para pengusaha hospitality ini masih harus memenuhi kewajibannya membayar gaji karyawan yang untuk area Surabaya diberlakukan besarannya Rp5,2 juta.
Pihaknya juga sudah mengajukan permohonan ke Disnaker untuk penundaan penerapan kebijakan UMSK.
“Kami ingin ada solusi-solusi agar beban kami tidak terlalu berat,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, Tahir Al-Djufri, Ketua IHGMA Jatim juga melontarkan keprihatinan senada.
“Dampak efisiensi itu membuat okupansi di bawah 50 persen,” katanya.
Bahkan, ada sebuah hotel bintang 5 di kawasan Surabaya Barat tingkat huniannya hanya 10 persen. Tahir berharap program efisiensi ini segera berakhir, dan pemerintah kembali mengucurkan dana belanja untuk hotel.
“Jujur yang punya duit sekarang pemerintah. Mereka banyak membelanjakannya kepada kami dalam bentuk bimtek, meeting, atau perjalanan dinas,” paparnya. (ist)