PONOROGO – Senin (10/9/2018) siang hingga petang, ribuan warga Ponorogo tampak antusias menyaksikan dan mengikuti kedua acara yang menjadi gelaran paling ditunggu pada Grebeg Suro tahun ini. Kirab pusaka dan buceng purak atau berebut tumpeng menjadi tradisi yang terus dilaksanakan di Ponorogo untuk menyambut datangnya Suro atau Muharam.
Kirab pusaka merupakan kegiatan kilas balik sejarah Ponorogo. Yaitu saat wilayah yang semula bernama Kerajaan Wengker ini memindah pusat pemerintahannya. Boyongan itu terjadi pada abad ke-15. Yaitu dari Pusat Pemerintahan Kota Lama di Kota Timur atau Kutho Wetan yang kini merupakan Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan, menuju Kota Tengah atau Kutho Tengah yang merupakan Pusat Pemerintahan Kabupaten Ponorogo saat ini.
Perpindahan ini dilaksanakan pada 1 Suro 1951 Saka atau 1 Muharam 1440 H, tepatnya setelah matahari beraangsur jatuh ke timur atau masuk 1 Suro, Senin (10/9/2018) sore. Perpindahan pusat pemerintahan Kadipaten Ponorogo ini ditandai dengan sebuah prosesi penuh nuansa mistis dan religi, Kirab Pusaka. Kirab pemerintahan ini memboyong tiga pusaka kebanggaan Ponorogo. Yaitu Angkin Cinde Puspito, Songsong Tunggul Wulung dan Tumbak Tunggul Nogo.
Dalam prosesi kirab, ketiga pusaka dibawa oleh sejumlah senopati yang diperagakan oleh para lurah, camat serta kepala dinas. Mereka mengenakan busana tradisional Jawa lengkap dengan keris di punggung yang berarti mereka berjalan dalam damai. Pasukan yang memiliki sebutan bergada pusaka ini berbaris penuh khidmat sambil membawa ketiga senjata andalan mereka.
Dilanjutkan barisan berikutnya adalah pasukan putri yang diperagakan oleh sejumlah siswi SMP dan SMA di Ponorogo. Dengan busana basahan mereka juga ngombyongi atau turut serta mengawal senjata pusaka Ponorogo.
Barulah dibelakangnya rombongan kereta kuda. Sejumlah pejabat mulai dari Bupati, Sekda hingga pimpinan DPRD serta Kepala Dinas turut serta menaiki kereta kuda masing-masing. Mereka ini merupakan perlambang pejabat yang juga turut bedhol ke kota tengah.
Sesampai di paseban atau panggung utama, ketiga pusaka kemudian dimandikan oleh sang bupati dan akhirnya disemayamkan di Pringgitan atau Kediaman Bupati. Nuansa tradisi nan magis serta budaya begitu lekat pada kegiatan ini. Selain Kirab Pusoko, kirab ini juga menampilkan mobil hias dan drum band sekolah. Hal ini menjadi magnet yang membuat grebeg suro semakin menarik dan diminati tidak hanya warga Ponorogo saja, tapi juga luar kota.
Kepala Dinas Parisiwisata Ponorogo Lilik Slamet Raharjo menyatakan, prosesi kirab pusoko menjadi bagian utama dari grebeg suro. Sebagai sebuah tampilan budaya, kirab pusoko mampu menyedot perhatian warga dan wisatawan, baik lokal maupun asing.
“Kita berharap kirab bisa menjadi daya tarik tersendiri dari Ponorogo.” ujarnya.
Menurut Lilik, kegiatan grebeg suro dan hari jadi kota Ponorogo yang digelar selama 11 hari ini berdampak multiplier effect dan mendorong perputaran uang di Kabupaten Ponorogo yang jumlahnya cukup mencapai lebih dari Rp10 miliar.
“Jelas ada dampak perputaran uang yang luar biasa dalam 11 hari ini. Sebab warga Ponorogo, turis domestik, turis mancanegara, rombongan reyog hingga tamu pemerintahan tumpleg bleg di Ponorogo saat ini. Hal ini menghidupkan perputaran uang melalui wisata kuliner, transportsi, perhotelan, industri kecil, perparkiran hingga persewaan motor,” pungkasnya. (ist)