hariansurabaya.com | SURABAYA – Sukma Prabawati, S.Pd., Gr., adalah sosok pendidik yang tidak hanya berjuang untuk diri sendiri, tetapi juga untuk keluarga. Lahir di Blitar pada 29 Agustus 1993, perjalanan hidupnya dipenuhi dengan perjuangan, pengorbanan, dan keyakinan bahwa pendidikan adalah kunci untuk perubahan. Sebagai alumni S1 Pendidikan Akuntansi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar dari Universitas Terbuka (UT), ia terus mengembangkan dirinya demi memberikan yang terbaik bagi generasi mendatang.
Perjalanannya menempuh Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) bukanlah hal mudah. Selain menghadapi padatnya jadwal perkuliahan, ia juga harus mengurus keluarga kecilnya. Namun, hal yang membuat perjalanannya benar-benar luar biasa adalah keputusannya untuk sering membawa putrinya yang masih berusia dua tahun ke dalam kelas. Kamis (27/2) siang Sukma bersama 3.730 lulusan PPG Unusa diambil sumpah menjadi guru profesional (Gr.) setelah dinyatakan lulus pada program PPG di Unusa. Sebanyak 129 orang hadir secara offline di Auditorium Unusa dan 3.601 orang secara online. Sejak dipercaya Pemerintah dalam menyelenggarakan PPG, Unusa telah meluluskan sebanyak 6.295 guru profesional.
Ketika memutuskan untuk ikut PPG, Sukma menyadari bahwa tantangannya tidak hanya pada akademik, tetapi juga pada kehidupan pribadinya. Anak dan suaminya yang sedang sakit pada saat itu membutuhkan perhatian ekstra. Namun, takdir membawanya ke Unusa, yang letaknya berdekatan dengan Rumah Sakit Islam Surabaya Jemursari, tempat anaknya menjalani pemeriksaan rutin.
“Awalnya saya sempat khawatir bagaimana bisa membagi waktu antara kuliah dan keluarga. Tapi saya percaya, ini semua rencana Tuhan. Saya ditempatkan di Unusa bukan kebetulan, ini adalah jalan yang diberikan kepada saya agar bisa tetap menjalani keduanya,” ujar istri dari Aditya Perwira Putra ini.
Salah satu keputusan paling berani diambil ketika ia memutuskan membawa putrinya ke perkuliahan. Bagi sebagian orang, membawa anak ke ruang kuliah mungkin terdengar tidak biasa, tetapi bagi Sukma, ini adalah bentuk perjuangan dan pembelajaran hidup yang nyata.
Ketika perkuliahan tidak terlalu padat atau tidak berlangsung lama, ia memilih untuk membawa putrinya ke dalam kelas. Tapi jika kelas berlangsung lama dan intensif, ia menitipkannya kepada mertua atau kakak ipar.
“Kalau pertemuan di kelas hanya satu atau dua sesi, saya memilih untuk membawa anak. Ketimbang rewel di rumah mencari saya, lebih baik diajak. Saya pikir, ini juga bisa menjadi pengalaman untuknya,” ungkap ibu dari Salsabila Ganesa Prabawati ini.
Tentu saja, membawa anak ke kelas tidak selalu mudah. Ada saat di mana putrinya mulai merasa bosan dan mulai mencari perhatian. Namun, berkat dukungan teman-teman sekelas dan dosen, situasi ini bisa berjalan dengan baik.
“Teman-teman di kelas sangat pengertian. Kadang kalau anak saya mulai rewel, ada yang membantu menghibur. Bahkan ada dosen yang mengatakan bahwa ini adalah contoh nyata bagaimana perempuan bisa berdaya tanpa harus mengorbankan keluarga,” kenangnya.
Salah satu momen paling mengesankan adalah ketika putrinya mulai terbiasa dengan suasana kelas. Ia sering memperhatikan ibunya saat mengoperasikan laptop dan akhirnya mulai mencoba sendiri.
“Ada satu momen yang sangat berkesan buat saya. Anak saya, yang masih dua tahun, tiba-tiba bisa menyalakan laptop sendiri dan menggerakkan kursor. Saya terkejut, tapi kemudian sadar, mungkin karena dia sering melihat saya menggunakannya di kelas. Ternyata, anak kecil itu cepat belajar hanya dengan melihat,” ucapnya penuh haru.
Bagi Sukma, ini bukan sekadar cerita lucu tentang anak kecil yang penasaran dengan teknologi. Ini bukti bahwa lingkungan pendidikan sangat berpengaruh pada perkembangan anak.
“Saya jadi berpikir, bagaimana kalau setiap anak sejak dini sudah diperkenalkan dengan dunia pendidikan dengan cara menyenangkan? Saya yakin, mereka akan tumbuh dengan kecintaan terhadap belajar,” katanya dengan penuh keyakinan.
Tentu mengatur waktu antara kuliah, mengurus keluarga, dan menyelesaikan tugas bukanlah hal mudah. Sukma harus benar-benar disiplin agar semuanya bisa berjalan dengan baik.
“Saya punya aturan sendiri. Saat di kampus, saya maksimalkan untuk mengerjakan tugas. Begitu di rumah, fokus untuk keluarga. Jika ada tugas yang harus dikerjakan di rumah, saya biasanya menitipkan anak ke mertua atau kakak ipar,” ungkapnya.
Sikap disiplin dan pengorbanannya membuahkan hasil. Ia berhasil menyelesaikan PPG dengan IPK 3.96, sebuah pencapaian luar biasa di tengah berbagai tantangan yang ia hadapi.(acs)