hariansurabaya.com | SURABAYA – – Universitas Airlangga (UNAIR) kembali mencatatkan langkah strategis di level internasional dengan menjadi satu-satunya perwakilan Indonesia dalam 20th ASEAN and 10th ASEAN+3 Youth Cultural Forum (AYCF+3). Forum ini diselenggarakan pada Minggu (22/6/2025) hingga Jumat (27/6/2025) di Thailand, tepatnya di Chulalongkorn University, Mahidol University, dan Burapha University.
Forum tahunan yang digagas ASEAN University Network (AUN) ini mempertemukan
mahasiswa dari negara ASEAN serta tiga mitra strategis. Antara lain Jepang, Korea Selatan,
dan Tiongkok. Mengusung tema Cultural Convergence: Embracing Diversity, Empowering
Youth, forum ini menjadi ajang kegiatan pertukaran nilai budaya dan kolaborasi kreatif lintas bangsa.
Empat delegasi UNAIR hadir, mewakili kolaborasi antara BEM UNAIR dan FORKOM
UKM. Yakni, Anggun Zifa Anindia (Presiden BEM UNAIR), Melvin Hermawan (Wakil
Presiden BEM UNAIR), Rodesti Florence (Ketua FORKOM), dan Trikiranna Purnama
(Sekretaris FORKOM).
“Keputusan UNAIR untuk hadir di forum ini adalah bagian dari misi besar kami. Bukan
sekadar tampil, tapi membangun diplomasi budaya sebagai soft power yang bisa dirasakan
langsung. Kami ingin mahasiswa UNAIR dikenal bukan hanya cerdas akademis, tapi juga
punya wawasan global dan keberpihakan budaya,” tegas Anggun Zifa, ketua delegasi
sekaligus Presiden BEM UNAIR.
Bergerak Bersama, Wujudkan Dampak Nyata
UNAIR menampilkan pertunjukan Indonesia Wonderland di malam budaya ASEAN+3,
sebuah medley dinamis yang memadukan Tari Saman, Tari Piring, Kecak, Legong, Yospan,
hingga Kreasi Nusantara. Dengan kostum daerah, iringan musik etnik modern, dan narasi
persatuan, penampilan berdurasi lima menit itu memukau peserta dari berbagai negara.
“Standing ovation kami terima dari hampir seluruh hadirin. Bahkan delegasi dari Jepang dan Korea Selatan secara langsung menyampaikan kekaguman mereka pada kedalaman budaya Indonesia yang kami tampilkan,” jelas Zifa.
Tak kalah meriah, di sesi cultural bazaar, booth UNAIR menyedot perhatian dengan
menghadirkan pengalaman budaya Indonesia secara menyeluruh. Makanan khas seperti
Indomie berbagai varian, brem, basreng, sale pisang, hingga permen jahe dibagikan kepada peserta. Kerajinan budaya seperti batik, kaos Barong Bali, wayang kulit, serta alat musik tradisional seperti rebana dan gendang pun bisa dicoba langsung.
“Kami tidak hanya pameran, kami menghidupkan budaya. Pengunjung dari Laos, Vietnam,
sampai Jepang ikut memainkan rebana, mencicipi makanan khas. Bahkan bertanya tentang
filosofi di balik batik dan wayang. Kami bicara lewat rasa, gerak, dan bunyi,” tambahnya.
Misi Global, Kolaborasi Nyata
Zifa menyampaikan bahwa keikutsertaan ini tidak muncul tiba-tiba. Meski persiapan hanya
dua minggu, delegasi UNAIR tampil dengan kurasi konten yang matang dan bernilai tinggi.
“Forum ini bukan hanya panggung penampilan. Ini tentang bagaimana gerakan mahasiswa
bisa bersuara secara strategis. Kolaborasi BEM dan FORKOM UKM jadi kunci. Kami bawa
narasi bersama, bukan hanya unjuk aksi individu,” tegasnya.
Lebih dari sekadar event seni budaya, keikutsertaan UNAIR di AYCF+3 2025 merupakan
perwujudan nyata dari internasionalisasi kampus yang berbasis budaya dan identitas bangsa.
Di tengah absennya UI, ITB, dan UGM, UNAIR mengambil posisi dengan percaya diri
membuktikan bahwa mahasiswa mampu dan pantas jadi representasi Indonesia di mata dunia.
“Kami datang tidak ramai-ramai, tapi suara kami sampai. Forum ini bukan hanya tentang
budaya. Ini tentang siapa yang berani bicara tentang bangsanya dengan percaya diri. Dan
UNAIR memilih untuk hadir, tampil, dan bicara,” tutup Zifa.(acs)